
Jamaah Rifa’iyah adalah nama sebuah komunitas keagamaan yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Rifa’i dan santri-santrinya. Nama Rifa’iyah dinisbatkan kepada nama pendiri sekaligus pemimpin Jamaah tersebut, yakni K.H. Ahmad Rifa’i. Sejarah munculnya Jamaah ini dimulai sejak kembalinya K.H. Ahmad Rifa’i dari menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di Mekkah dan Mesir antara tahun 1818-1841.
Menurut informasi yang beredar dikalangan anggota Jamaah Rifa’iyah, jumlah santri K.H. Ahmad Rifa’i pada generasi pertama mencapai 41 (empat puluh satu) orang. Namun dari jumlah tersebut hanya enam orang yang berhasil dilacak biografinya. Keenam orang santri KH. Ahmad Rifa’i pada generasi pertama tersebut tersebar dibeberapa wilayah di Indonesia. Pada awal abad ke-20 jumlah santri atau pengikut Jamaah Rifa’iyah semakin berkembang pesat hingga Batavia atau Jakarta.
Adapun keenam orang santri KH. Ahmad Rifa’i tersebut adalah; Pertama, Kyai Abu Hasan, ia menyebarkan ajaran Rifa’iyah di wilayah Kabupaten Wonosobo dan Purworejo. Kedua, Kyai Ilham. Ia berasal dari Kalipucang dan dianggap sebagai mediator utama dalam penyebaran ajaran Tarajumah di beberapa kabupaten di Jawa Tengah seperti Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, dan Brebes. Ketiga, Kyai Muhammad Tubo. Ia berasal dari Kecamatan Patebon Kendal dan menyebarkan ajaran Rifa’iyah di wilayahnya tempat tinggalnya. Keempat, Kyai Muharrar dari Ambarawa, pendiri pesantren Ngasem. Ketika pesantrennya dibubarkan oleh Belanda, ia pindah ke Purworejo dan mendirikan pesantren di Kecamatan Mbayan. Kelima, Kyai Maufuro bin Nawawi. Ia berasal dari wilayah sekitar Kalisalak. Ia menjadi pelopor penyebaran ajaran Rifa’iyah di kawasan Limpung, Batang. Perjuangan Kyai Maufuro ini kemudian dilanjutkan santri-santrinya seperti Kiai Hasan Mubari dan Kyai Marhaban.Keenam, Kyai Idris. Ia lahir di Pekalongan pada tahun 1810 dan wafat pada tahun 1895. Kyai Idris merupakan perintis penyebaran ajaran Rifa’iyah di Jawa Barat, terutama di Kabupaten Cirebon, Indramayu, Subang dan Karawang.Dalam hal ini, anggota Jamaah Rifa’iyah yang ada di Desa Sukawera Kabupaten Indramayu adalah termasuk generasi dari santri-santri Kyai Idris.
KH. Ahmad Rifa’i hidup semasa dengan Syekh Khalil dari Bangkalan Madura dan Syekh Nawawi dari Banten. Keduanya adalah teman seperjuangannya ketika menuntut ilmu di Mekkah, dan sering mengadakan pertemuan untuk memikirkan persoalan bangsa Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, mereka bertiga; KH. Ahmad Rifa’i, Syekh Khalil, dan Syekh Nawawi, mengadakan semacam diskusi tentang langkah-langkah yang akan ditempuh dalam melaksanakan dakwah di daerah masing-masing. Diskusi tersebut dipimpin oleh KH. Ahmad Rifa’i dan menghasilkan satu komitmen bersama, yakni menyusun kitab sesuai dengan bidang keilmuan masing-masing menggunakan metode yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Dalam hal ini, Syekh Nawawi banyak menyusun kitab tentang teologi atau ushuludin, Syekh Khalil menyusun kitab akhlak atau tasawuf, sedangkan KH. Ahmad Rifa’i menyusun kitab tentang hukum Islam atau fiqih.
Namun demikian, seperti halnya Syekh Khalil dan Syekh Nawawi, selain menyusun kitab tentang hukum Islam atau fiqh, KH. Ahmad Rifa’i juga menyusun kitab-kitab lain yang berkaitan dengan persoalan ushuluddin dan tasawuf khususnya masalah syariat, thareqat, hakikat, dan makrifat. Dibidang ushuluddin, beliau menganut faham Imam al-Asy’ari dan al-Maturidi, dibidang fiqih beliau mengikuti madzhab Imam Syafi’i, dan dibidang tasawuf beliau mengikuti Imam al-Junaidi.
KH. Ahmad Rifa’i termasuk ulama yang cukup produktif dalam menyusun kitab. Ia sangat mahir dalam menjelaskan substansi ajaran Islam dengan bahasa yang sangat sederhana tanpa memakai idiom-idiom Arab.Tak kurang dari 65 (enam puluh lima) buah kitab berhasil ia susun baik ketika di Jawa maupun ketika ia berada dalam pengasingan di Ambon. Semua kitabnya tersebut disusun tidak menggunakan bahasa Arab namun berbahasa Jawa, sehingga kitab-kitab karangannya biasa disebut dengan kitab Tarjumah. Istilah Tarjumah atau Tarjamah berasal dari bahasa Arab yang berarti alih bahasa atau pemindahan suatu bahasa ke bahasa lain.
Mengenai masuknya Jamaah Rifa’iyah di Desa Sukawera, ia pertama kali dibawa oleh santri-santri dan keturunan Kyai Idris, murid K.H. Ahmad Rifa’i, setelah terlebih dahulu mereka tinggal di Desa Sukalila, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu. Letak Desa Sukalila berada di sebelah utara Desa Sukawera berbatasan dengan sungai Cimanuk. Pada sekitar tahun 1860 M mereka mulai pindah dari Desa Sukalila menuju Desa Sukawera, meski Kyai Idris sendiri dan Kyai Kayin (adik Kyai Idris) tetap tinggal di Desa Sukalila, hingga kedua tokoh perintis Jamaah Rifa’iyah di Jawa Barat ini meninggal dunia dan dimakamkan di desa tersebut.
Meskipun ajaran Rifa’iyah masuk ke Desa Sukawera sejak tahun 1860 M, namun sebagai sebuah Jamaah yang memiliki struktur organisasi baru dibentuk pada tahun 1999 M berdasarkan instruksi dari pimpinan pusat Jamaah Rifa’iyah. Sejak saat itu tokoh-tokoh Jamaah Rifa’iyah di Desa Sukawera mulai membentuk kepanitiaan, menyusun struktur kepengurusan dan program kerja sehingga pada tanggal 6 Januari 1999 untuk pertama kalinya berhasil dibentuk susunan pengurus Jamaah Rifa’iyah di Desa Sukawera. Satu hari kemudian, pada tanggal 7 Januari 1999 M, berhasil dirumuskan agenda pokok program kerja untuk periode tahun 1999 sampai 2002 M.
Satu hal yang membuat Peneliti merasa tertarik melakukan penelitian terhadap Jamaah Rifa’iyah Desa Sukawera ini adalah karena Jamaah ini termasuk organisasi keagamaan yang cukup besar di Sukawera yang memiliki struktur kepengurusan yang tidak hanya diisi oleh orang-orang dari kalangan Rifa’iyah, namun juga dari perwakilan Jamaah Islam lain yang ada di Sukawera. Mereka dapat saling mendukung dan bekerjasama dalam sebuah struktur organisasi dalam rangka melaksanakan program-program kerja yang telah ditetapkan bersama.
Sejak dibentuknya struktur kepengurusan Jamaah Rifa'iyah, didirikan pula sebuah lembaga pendidikan formal keagamaan atau Madrasah Diniyah. Selain itu, aktivitas Jamaah menjadi lebih rutin, terjadwal dan sistematis. Kegiatan dilakukan secara rutin dan bergiliran dari satu mushalla ke mushalla yang lain di Sukawera, di samping juga ada kegiatan tahunan, bulanan, dan mingguan sehingga hal ini semakin memupuk rasa percaya diri, saling memiliki, serta solidaritas antar masyarakat di Sukawera menjadi lebih kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar