Selasa, 17 Juni 2014

DOKUMENTASI DESA SUKAWERA


hasil bordir sukawera



welcome to sukawera city



rapat karang taruna sekar indah


SEKOLAH LAPANGAN DESA SUKAWERA


Memasuki hari kedua pada kegiatan sekolah lapangan save & grow di kelompok tani mukti jaya Desa Sukawera ini terlihat semangat dan antusias peserta, hal ini di tandai dengan kehadiran peserta menjadi bertambah, dan diskusi kelompok semakin hidup dan kompak.

Hari ini membahas atau topik bahasannya adalah tentang SLA dan pemetan desa kemudian membuat desa impian. saya sebagai pemandu pada pada kegiatan SL SG (Sekolah Lapangan Save and Grow) ini mengawali dengan mengantarkan materi atau topik tentang Sustainable Livelihood Assessment (SLA), pada pengantar ini saya hanya menggambarkan tentang pengertian SLA dan hubungannya dengan kegiatan pertanian yang hemat, ramah lingkungan dan hasil meningkat. Setelah pembahasan tentang SLA, kemudian peserta di ajak untuk turun ke lapangan atau melihat langsung kelokasi belajar yang sesungguhnya yaitu alam sekitar peserta, mulai dari sawah, irigasi, tanggul dan pekarangan.

Dalam prakteknya kegiatan pengamatan ke lapangan tersebut di bagi menjadi 4
kelompok yaitu kelompok pengamatan sawah, kelompok pengamatan irigasi, kelompok pengamatan pekarangan dan kelompok pengamatan tanggul/galengan.
Setalah presentasi kemudian peserta diajak untuk merekap tentang potensi dan masalah di sekitar ekosistem yang ada di sekitarnya. kemudian peserta di ajak untuk membuat bayangan atau impian kira-kira kedepannya akan seperti apa ?, dengan potensi yang ada.

Demikian untuk kegiatan hari kedua sekolah lapangan save and grow di Desa Sukawera Kecamatan Kertasemaya Kabupaten Indramayu.

JAMIYAH RIFA'IYAH DESA SUKAWERA




Jamaah Rifa’iyah adalah nama sebuah komunitas keagamaan yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Rifa’i dan santri-santrinya. Nama Rifa’iyah dinisbatkan kepada nama pendiri sekaligus pemimpin Jamaah tersebut, yakni K.H. Ahmad Rifa’i. Sejarah munculnya Jamaah ini dimulai sejak kembalinya K.H. Ahmad Rifa’i dari menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di Mekkah dan Mesir antara tahun 1818-1841.

Menurut informasi yang beredar dikalangan anggota Jamaah Rifa’iyah, jumlah santri K.H. Ahmad Rifa’i pada generasi pertama mencapai 41 (empat puluh satu) orang. Namun dari jumlah tersebut hanya enam orang yang berhasil dilacak biografinya. Keenam orang santri KH. Ahmad Rifa’i pada generasi pertama tersebut tersebar dibeberapa wilayah di Indonesia. Pada awal abad ke-20 jumlah santri atau pengikut Jamaah Rifa’iyah semakin berkembang pesat hingga Batavia atau Jakarta.

Adapun keenam orang santri KH. Ahmad Rifa’i tersebut adalah; Pertama, Kyai Abu Hasan, ia menyebarkan ajaran Rifa’iyah di wilayah Kabupaten Wonosobo dan Purworejo. Kedua, Kyai Ilham. Ia berasal dari Kalipucang dan dianggap sebagai mediator utama dalam penyebaran ajaran Tarajumah di beberapa kabupaten di Jawa Tengah seperti Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, dan Brebes. Ketiga, Kyai Muhammad Tubo. Ia berasal dari Kecamatan Patebon Kendal dan menyebarkan ajaran Rifa’iyah di wilayahnya tempat tinggalnya. Keempat, Kyai Muharrar dari Ambarawa, pendiri pesantren Ngasem. Ketika pesantrennya dibubarkan oleh Belanda, ia pindah ke Purworejo dan mendirikan pesantren di Kecamatan Mbayan. Kelima, Kyai Maufuro bin Nawawi. Ia berasal dari wilayah sekitar Kalisalak. Ia menjadi pelopor penyebaran ajaran Rifa’iyah di kawasan Limpung, Batang. Perjuangan Kyai Maufuro ini kemudian dilanjutkan santri-santrinya seperti Kiai Hasan Mubari dan Kyai Marhaban.Keenam, Kyai Idris. Ia lahir di Pekalongan pada tahun 1810 dan wafat pada tahun 1895. Kyai Idris merupakan perintis penyebaran ajaran Rifa’iyah di Jawa Barat, terutama di Kabupaten Cirebon, Indramayu, Subang dan Karawang.Dalam hal ini, anggota Jamaah Rifa’iyah yang ada di Desa Sukawera Kabupaten Indramayu adalah termasuk generasi dari santri-santri Kyai Idris.

KH. Ahmad Rifa’i hidup semasa dengan Syekh Khalil dari Bangkalan Madura dan Syekh Nawawi dari Banten. Keduanya adalah teman seperjuangannya ketika menuntut ilmu di Mekkah, dan sering mengadakan pertemuan untuk memikirkan persoalan bangsa Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, mereka bertiga; KH. Ahmad Rifa’i, Syekh Khalil, dan Syekh Nawawi, mengadakan semacam diskusi tentang langkah-langkah yang akan ditempuh dalam melaksanakan dakwah di daerah masing-masing. Diskusi tersebut dipimpin oleh KH. Ahmad Rifa’i dan menghasilkan satu komitmen bersama, yakni menyusun kitab sesuai dengan bidang keilmuan masing-masing menggunakan metode yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Dalam hal ini, Syekh Nawawi banyak menyusun kitab tentang teologi atau ushuludin, Syekh Khalil menyusun kitab akhlak atau tasawuf, sedangkan KH. Ahmad Rifa’i menyusun kitab tentang hukum Islam atau fiqih.

Namun demikian, seperti halnya Syekh Khalil dan Syekh Nawawi, selain menyusun kitab tentang hukum Islam atau fiqh, KH. Ahmad Rifa’i juga menyusun kitab-kitab lain yang berkaitan dengan persoalan ushuluddin dan tasawuf khususnya masalah syariat, thareqat, hakikat, dan makrifat. Dibidang ushuluddin, beliau menganut faham Imam al-Asy’ari dan al-Maturidi, dibidang fiqih beliau mengikuti madzhab Imam Syafi’i, dan dibidang tasawuf beliau mengikuti Imam al-Junaidi.

KH. Ahmad Rifa’i termasuk ulama yang cukup produktif dalam menyusun kitab. Ia sangat mahir dalam menjelaskan substansi ajaran Islam dengan bahasa yang sangat sederhana tanpa memakai idiom-idiom Arab.Tak kurang dari 65 (enam puluh lima) buah kitab berhasil ia susun baik ketika di Jawa maupun ketika ia berada dalam pengasingan di Ambon. Semua kitabnya tersebut disusun tidak menggunakan bahasa Arab namun berbahasa Jawa, sehingga kitab-kitab karangannya biasa disebut dengan kitab Tarjumah. Istilah Tarjumah atau Tarjamah berasal dari bahasa Arab yang berarti alih bahasa atau pemindahan suatu bahasa ke bahasa lain.

Mengenai masuknya Jamaah Rifa’iyah di Desa Sukawera, ia pertama kali dibawa oleh santri-santri dan keturunan Kyai Idris, murid K.H. Ahmad Rifa’i, setelah terlebih dahulu mereka tinggal di Desa Sukalila, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu. Letak Desa Sukalila berada di sebelah utara Desa Sukawera berbatasan dengan sungai Cimanuk. Pada sekitar tahun 1860 M mereka mulai pindah dari Desa Sukalila menuju Desa Sukawera, meski Kyai Idris sendiri dan Kyai Kayin (adik Kyai Idris) tetap tinggal di Desa Sukalila, hingga kedua tokoh perintis Jamaah Rifa’iyah di Jawa Barat ini meninggal dunia dan dimakamkan di desa tersebut.

Meskipun ajaran Rifa’iyah masuk ke Desa Sukawera sejak tahun 1860 M, namun sebagai sebuah Jamaah yang memiliki struktur organisasi baru dibentuk pada tahun 1999 M berdasarkan instruksi dari pimpinan pusat Jamaah Rifa’iyah. Sejak saat itu tokoh-tokoh Jamaah Rifa’iyah di Desa Sukawera mulai membentuk kepanitiaan, menyusun struktur kepengurusan dan program kerja sehingga pada tanggal 6 Januari 1999 untuk pertama kalinya berhasil dibentuk susunan pengurus Jamaah Rifa’iyah di Desa Sukawera. Satu hari kemudian, pada tanggal 7 Januari 1999 M, berhasil dirumuskan agenda pokok program kerja untuk periode tahun 1999 sampai 2002 M.

Satu hal yang membuat Peneliti merasa tertarik melakukan penelitian terhadap Jamaah Rifa’iyah Desa Sukawera ini adalah karena Jamaah ini termasuk organisasi keagamaan yang cukup besar di Sukawera yang memiliki struktur kepengurusan yang tidak hanya diisi oleh orang-orang dari kalangan Rifa’iyah, namun juga dari perwakilan Jamaah Islam lain yang ada di Sukawera. Mereka dapat saling mendukung dan bekerjasama dalam sebuah struktur organisasi dalam rangka melaksanakan program-program kerja yang telah ditetapkan bersama.

Sejak dibentuknya struktur kepengurusan Jamaah Rifa'iyah, didirikan pula sebuah lembaga pendidikan formal keagamaan atau Madrasah Diniyah. Selain itu, aktivitas Jamaah menjadi lebih rutin, terjadwal dan sistematis. Kegiatan dilakukan secara rutin dan bergiliran dari satu mushalla ke mushalla yang lain di Sukawera, di samping juga ada kegiatan tahunan, bulanan, dan mingguan sehingga hal ini semakin memupuk rasa percaya diri, saling memiliki, serta solidaritas antar masyarakat di Sukawera menjadi lebih kuat.

SUNGAI CIMANUK MENELAN KORBAN KEMBALI




Muhamad Faisal (17) Warga Desa Sukawera Kertasemaya Indramayu, dilaporkan hanyut terbawa arus sungai Cimanuk sejak Kamis pagi (6/6/2013), korban yang merupakan siswa kelas 2 SMK Maydas 147 Jatibarang ini semula sekitar Pkl. 08.00 WIB hendak mencuci kaki setelah pulang mencari siput sawah (Kraca/Tutut) bersama rekannya Budin dan Akbar.

Namun naas bagi Faisal (ical), dirinya terpeleset dan masuk ke dasar sungai yang lebih dalam ditambah sang korban (ical) tidak bisa berenang dan air sungai sedang pasang serta deras sehingga dirinya tidak bisa menyelamatkan diri dan terbawa arus.

"Saya sempat mengingatkan ical agar tidak ke tengah, karena air sedang pasang, dan waktu itu saya hendak menyimpan ember ke pinggir sungai, begitu nengok melihat ical sudah di tengah dan minta tolong" tutur Budin rekan korban.

Budin pun sempat mencoba menolongnya dengan meraih badan dan tangan korban, namun Ical melepaskan diri dan Budin pun tidak sanggup untuk menolongnya, akhirnya Budin menepi dan meminta pertolongan warga.

"Budin sendiri hampir menjadi korban bersama Ical kalau saja Ical tidak melepaskan pelukannya di dalam air tadi" tambah Budin.
vSejak kejadian tersebut orang tua korban Ghoni, yang dibantu oleh masyarakat sekitar bersama tim SAR Daop III Cirebon terus melakukan pencarian selama dua hari dua malam, di lokasi kejadian sempat diadakan do'a tahlil bersama agar korban dapat segera ditemukan.
Dan pada hari Sabtu pagi (8/6/2013) Pkl. 05.00 WIB keluarga korban mendapat laporan bahwa telah ditemukan mayat laki-laki dengan ciri sebagaimana yang telah di sebar luaskan. Pak Yadi (lurah) Desa Sukawera pun meng-iya-kan adanya kabar tersebut. "Saya dapat kabar penemuan mayat dari keluarga sekitar Pkl. 06.00 WIB, yang dilanjutkan ke Polsek Kertasemaya dan kami langsung meluncur ke lokasi penemuan jenazah" tutur Yadi Lurah Desa Sukawera. Jenazah sendiri ditemukan oleh Suryana (37) dan Ratim (40) Warga Desa Lobener RT.01/01 Kec. Jatibarang yang sedang menambang pasir di sungai Cimanuk di wilayah tambangan depan Dalas Desa Lobener sekitar 200 M sebelum bendungan Karet. Jenazah pun langsung di kebumikan sekitar Pkl. 13.00 WIB di TPU Desa Sukawera, kecamatan kertasemaya Kab. Indramayu, keluarga pun sudah mengikhlaskannya dan mengucapkan terima kasih atas segala partisipasi warga, aparat Desa, kepolisian serta tim SAR yang tidak kenal lelah selama proses pencarian korban. (red: Haris Setiawan).(zhaly/alg)

Selasa, 27 Mei 2014

KERAJINAN BORDIR DESA SUKAWERA


Nama desa perajin bordir ini adalah Sukawera. Sebuah desa di kecamatan Kertasemaya, kabupaten Indramayu Jawa Barat. Secara bahasa suka berarti seneng dan wera berarti ramai, meriah.

Nyatanya kondisi desanya tidak seramai yang diartikan. Jalan-jalan di desa itu tampak lengang. Di sana-sini tumbuh pohon besar. Rumah-rumah Penduduk seolah lama tak berpenghuni. Sedang di samping-sampingnya selalu saja ada pekarangan yang luas yang hidup berbagai macam tumbuhan. Belum lagi letaknya yang menjorok dari jalan raya, seakan-akan desa ini ingin bersembunyi dari balik keramaian dan hiruk-pikuk suasana kota.

Akan tetapi tidak berarti ”kesunyian” ini gambaran sepi dalam hal aktivitas. Justru dari desa inilah produksi bordir tergolong besar di Indonesia setelah Tasikmalaya. Bila memasuki desa ini kita akan disambut dengan beberapa papan nama perajin bordir. Di dalam rumah perajin itu biasanya berjejer pemuda dan pemudi yang duduk dan terus setia menjejakkan kakinya pada pedal mesin jahit. Gulungan benang, tumpukan kain dan suara mesin jahit telah menjadi pemecah kesepian tersendiri.

Menurut Kepala Desa (Kuwu) Sukawera, Asikin, desa dengan 700 kepala keluarga (KK) ini, hampir 80% warganya melakukan aktivitas membordir. Namun membordir belum dijadikan penghasilan utama, karena masih banyak warganya yang memilih menjadi TKW. Adapun enam produk bordir yang sudah cukup terkenal adalah Sekar Indah Bordir, Melati Jaya Bordir, Alfariska Bordir, Anas Jaya Bordir dan Alam Jaya Bordir.

”Perajin bordir yang sudah cukup terkenal kurang lebih delapan kelompok perajin yang masing-masing memiliki tenaga kerja 20 hingga 50 orang. Jumlah ini belum termasuk mereka yang bekerja secara mandiri atau perorangan. Disamping itu tidak sedikit orangtua yang sengaja menyediakan mesin jahit sesuai dengan jumlah anaknya,” papar Asikin kepada Blakasuta ketika ditemui di kediamannya, pada Jumat (14/11/08).

"Belum Berani Ambil Resiko"

Selama ini, lanjut Asikin, perajin yang ada belum mampu berkembang sepertihalnya perajin Tasikmalaya. Apalagi para perajin sebagian besar memilih bertahan dengan mesin tradisional. Bahkan hingga saat ini, motif bordir Indramayu masih meniru jenis bordir yang sudah ada di pasaran. Padahal dilihat dari hasilnya, kualitas bordir Indramayu tidak kalah dengan bordir terkenal lainnya. Akibatnya, segmen pengguna bordir Indramayu sebagian besar masih ada pada masyarakat kelas menengah saja. Hal senada diungkapkan Hamzah, salah satu perajin bordir ”Sekar Indah Bordir Sukawera”. Menurut hamzah, pada dasarnya ada keinginan untuk mencari ciri khas tertentu dari bordir Indramayu. Namun, perajin belum berani berspekulasi. Karena motif utama rata-rata perajin adalah mengumpulkan uang sebanyaknya, agar usaha ini dapat berjalan terus.

”Di sini belum ada asosiasi. Saya pernah berinisiatif mengajak mereka membangun sebuah semacam forum perajin bordir Sukawera. Namun ternyata tanggapannya kurang antusias. Jadi dari SDM (sumber daya manusia)-nya masih sulit diajak bersatu,” ungkap Hamzah yang mengaku aktif memberikan pelatihan-pelatihan dan mengikuti pameran-pameran di luar kota, baik Jawa maupun Luar Jawa.

Mereka (para perajin) juga belum bisa memahami dan merasakan keuntungan berorganisasi. Itu sebenarnya demi keuntungan mereka juga. Padahal sebenarnya, lanjut Hamzah, kalau mereka mau itu sangat menguntungkan mereka. Apalagi dari pemerintah daerah sendiri sudah memberi kesempatan.

”Karena dari situ kita mendapat pengalaman mengenai manajemen usaha ini. Jadi inilah saatnya kita berkreasi. Tidak semata memikirkan saat ini, tapi juga masa depan. Sehingga tidak hanya berjalan di tempat itu-itu saja,” tandas Hamzah.

Hamzah juga berharap mampu mempertahankan kualitas bordir Sukawera. Selain itu juga ingin memberi contoh ke masyarakat, bahwa dengan membordir dia bisa sukses. Dia juga menyadari, bahwa usahanya bisa berkembang berkat kerjasama dengan pemerintah.

Dia masih optimis bahwa konsumennya masih melirik kualitas bordirnya. Bordir yang dia jual, paling mahal sekitar 600.000-an rupiah, dan yang paling murah 60.000-an rupiah. Tahun 2002, dia telah memiliki showroom sendiri, setelah sebelumnya hanya menjajakan dagangan dari pintu ke pintu. Dia juga memiliki cabang di Indramayu, meski belum maksimal.

"Tidak Ada Motif Khusus"

Senior Hamzah, Hj Mahmuddah, juga mengaku belum berani mengambil resiko pesanan dalam jumlah besar, apalagi dari luar negeri. Hj Mahmuddah adalah salah satu pengusaha bordir yang sering mendapat penghargaan dari pemerintah. Salah satunya penghargaan Upakarti, atas pengabdiannya di bidang kerajinan.

Dia juga mengaku tak menggunakan motif-motif spesial khas Dermayon. ”Produk-produk saya tidak memakai motif khas seperti Kapal Kandas, motif-motif dari Aceh atau Songket. Tapi bila disuruh membuat saya mampu.”

Selama ini yang sering dibuatnya adalah motif seruni, tapak kebo, bunga tulip, lunglungan dan lain-lain. Di antara sekian produk-produknya, busana muslimah nampaknya masih menjadi primadona. Lebih-lebih menjelang hari raya Idul fitri, sayang bila dulu sebelum krisis moneter konsumennya tidak dibatasi kalangan menengah ke atas. Bagaimana tidak, bila dulu produknya boleh dibeli dalam satu stel seharga 40.000 rupiah, kini rata-rata produknya dijual seharga 185.000 rupiah ke atas.

Untuk konsumen nampaknya dia tidak begitu merisaukan. Sebab tidak jarang konsumen yang sudah mengenal kualitas produk bordirannya, maka mereka datang sendiri ke rumah. Sekalipun demikian Mahmudah tidak boleh tinggal diam. Dia pun rajin keluar masuk instansi pemerintahan maupun swasta untuk memasarkan produknya. Kantor Pemda, Pertamina dan toko-toko tertentu adalah sasaran pemasarannya. Hingga kini produknya telah dikenal di Sumatera, Plaju, Balikpapan dan lain-lain.

”Kami memang masih melayani untuk wilayah dalam negeri. Tenaga pemasarannyapun langsung kami tangani. Ibaratnya tangan kanan memasukkan tangan kiri mengeluarkan,” tuturnya.

Sayang, badai krisis ekonomi dan moneter cukup berpengaruh pada keuntungan usahanya. Bila dulu penghasilan kotor satu bulan bisa mencapai tiga sampai dengan lima juta rupiah, kini memang tidak jauh berbeda.

”Hanya nilainya yang lain. Jika dulu kami punya keuntungan 5 juta rupiah dengan harga benang 2.500 rupiah pergulung. Jadi dalam pembukuan memang jumlah uang kami tetap. Hanya waktu dibelanjakan barang, uang kami kurang”.

Walau demikian produksi bordirnya masih tetap berjalan. Menurutnya kunci yang paling utama adalah tetap menjaga kualitas. Itu saja tidak cukup. Perkembangan bordir harus terus diikutinya.

”Kami tidak segan-segan melihat desain bordir dari televisi, membaca-baca majalah, buku-buku atau banyak melihat desain-desain bordir yang dipakai orang pada acara-acara tertentu. Dengan cara seperti itu produk-produknya akan tetap diminati orang. ”Sebab jika kita tidak mengikuti perkembangan jaman, maka sama halnya dengan membuang modal.”

Membordir dan Memberdayakan Perempuan

Hajjah Mahmuddah dibesarkan dalam keluarga yang menekuni kerajinan ini. Ibunya pada tahun 1945 mula-mula belajar menekuni bordir dari Ibu Nur, wanita asal Tasikmalaya yang merantau di daerahnya.

”Waktu itu ibu saya belajar dengan membayar ongkos satu kwintal padi,” ujar Hajjah Mahmuddah mengenang. Setelah ilmu didapat, ibunya membuka usaha sendiri. Waktu itu ibunya dibantu enam orang pekerja dari desanya. Sambil menekuni usaha ibunya juga menularkan tradisi yang lama, yakni mengajarkan ilmunya kepada orang lain.

Pada tahun 1989, dia mendapat tawaran studi banding tentang kerajinan bordir di Tasikmalaya. Di atas prakarsa dari Pemda dan Departemen Perindustrian kabupaten Indramayu. Dari daerahnya ditunjuklah dua orang wanita yakni Mahmudah dan Masruroh. Meski hanya empat hari belajar di Tasikmalaya, Mahmudah merasa memperoleh banyak pengalaman. Ia banyak melihat motif-motif yang bagus juga desain yang cukup menarik. Dari situ juga ia banyak belajar bagaimana kiat-kiat menggaet konsumen.

Awalnya Mahmuddah sengaja merekrut pekerja perempuan di desanya. Karena saat itu masih banyak anak perempuan yang menganggur, dan tidak bisa meneruskan pendidikannya. ”Saya merasa prihatin dengan kondisi perempuan di sini, jadi dulu saya bertekad bagaimana agar mereka mampu menyelesaikan pendidikannya, minimal SMU. Jadi sebagian besar, mereka bekerja membantu saya sepulang sekolah. Mereka juga bisa belajar membordir gratis,” ujar dia.

Pertolongannya kepada tetangga juga tak sebatas itu. Banyak di antara mereka yang meminjam uang dan pembayarannya dengan bordiran. ”Kasihan, ibu-ibu di sini banyak yang kekurangan. Kadang-kadang mereka pinjam uang 25.000 rupiah, dan bayarnya dengan bordiran. Tetapi karena banyak kebutuhan, hutangnya 25.000 rupiah, sedang dapatnya hanya 10.000 rupiah. Maka untuk mengangsur ke saya 2.000 rupiah sedang yang 8.000 rupiahnya diambil” paparnya.

Kini dia tidak lagi merekrut pekerja perempuan yang ada di desanya, karena rata-rata mereka telah memiliki usaha bordir sendiri. Pendidikan mereka juga sudah dikatakan cukup tinggi dibanding sebelumnya.

Ketekunannya dalam membina usaha dan rasa cintanya pada profesi, membuat Mahmudah berhasil lolos atas lima orang kandidat lainnya dalam meraih Upakari. Kini perempuan single parent yang bertempat tinggal di belakarang Masjid Desa Sukawera, ini terus menekuni usahanya yang telah dirintis selama bertahun-tahun. Tentu sambil sesekali mengajari tetangganya atau membimbing dengan setia para calon perajin bordir lainnya secara gratis.